Welcome to our online store

Selasa, 22 Juli 2014

Klenteng Makco

$0
Gorong-gorong jalur candu di bantaran Sungai Lasem, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sudah tidak bersisa lagi. Gorong-gorong itu sudah terkubur sedimen sungai yang ditumbuhi pohon bambu. Di bawah pohon itu bertengger WC alias kakus.

Bekas gorong-gorong yang menyerupai terowongan itu merupakan saksi bisu sejarah perdagangan candu di Lasem. Melalui gorong-gorong itu, para pedagang menyelundupkan candu menggunakan perahu jukung menuju gudang penyimpanan di belakang Klenteng Makco.

Warga Desa Dasun, Turi Prasetyo (38), mengatakan, sekitar dua tahun lalu pintu air fondasi itu diambil dan dijual sejumlah warga. Pintu itu terdiri dari empat papan kayu jati seluas sekitar 4 meter persegi yang dipasang berjejer. ”Di bagian bawah pintu air itu terdapat balok-balok kayu jati yang juga sudah diambil sejumlah penduduk,” kata warga yang bertempat tinggal di samping depan fondasi galangan kapal tersebut.

Dua pemandangan itu merupakan sejumlah sajian para penyusur Sungai Lasem yang dipromotori Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Rembang, Minggu (29/11). Penyusuran sungai bersejarah itu dimulai dari depan Klenteng Makco menuju Pulau Gosong yang berjarak sekitar 8 kilometer. ”Kami ingin menginventarisasi dan mendokumentasikan peninggalan-peninggalan sejarah di sepanjang bantaran Sungai Lasem,” kata Ketua Umum MSI Rembang Edi Winarno.

Sungai Lasem kerap disebut dan dikenal sebagai Sungai Babagan. Sungai tersebut berhulu di Pegunungan Lasem dan berhilir di Laut Jawa. Sungai itu membelah kota tua Lasem, kota bagian timur dan bagian barat. Di kota tua bagian timur terdapat Desa Soditan, Karangturi, Jolotundo, Sumbergirang, dan Ngemplak. Adapun kota bagian barat terdapat Desa Gedangmulyo, Dorokandang, dan Babagan.

Buku Sabda Badra Santi yang digubah S Reksowardojo (1966) menyebutkan, Sungai Lasem mulai dari Desa Babagan hingga muara sungai merupakan buatan saudagar China. Pada 1730, para saudagar dan pedagang China memperlebar dan memperdalam Sungai Lasem untuk memperlancar arus transportasi perdagangan. Pelebaran dan pendalaman itu terjadi pada masa pemerintahan Oei Ing Kiat. Dia adalah Adipati Lasem bergelar Tumenggung Widyaningrat yang diangkat Paku Buwono II pada 1727.

Bersamaan dengan itu, Widyaningrat membangun pelabuhan di depan Klenteng Dewi Laut atau Makco Tian Shang Sheng Mu. Pelabuhan itu berkembang pesat menjadi pelabuhan perdagangan antarpulau dan bangsa. ”Batik Lasem merupakan salah satu komoditas perdagangan di pelabuhan itu, selain garam, kayu jati, dan kain,” kata Slamet Widjaya, tokoh setempat.

Galangan Kapal

Galangan kapal yang semula untuk membuat kapal perang Majapahit mulai dikembangkan menjadi galangan kapal dagang. Pada 1856-1858, ketika di bawah perusahaan Brawne an co, galangan itu terkenal se-Asia Tenggara. Dalam kurun waktu dua tahun, galangan itu mampu membuat 35 kapal.

Pada zaman Jepang, galangan difungsikan untuk membuat kapal pengangkut perlengkapan militer untuk dibawa ke Morotai dan Papua. Pada 1942, Jepang berhasil memproduksi 150 kapal dan pada 1943 membuat 127 kapal. Pada 1944, Jepang merencanakan membuat 700 kapal, tetapi hanya terealisasi 343 kapal. ”Galangan kapal itu hancur terbakar akibat politik bumi hangus tentara Indonesia yang mengincar bangunan-bangunan vital penjajah. Kini tinggal menyisakan fondasinya,” kata Slamet Widjaya.

Koninklijk Instituut voor Taal-Land-enVolkenkunde (KITLV) mencatat lebih dari 50.000 batang dan 75.000 papan kayu jati dikirim ke Belanda melalui Batavia. Sebagian besar kayu ini diangkut para pelayar dan pengusaha Tionghoa, sedangkan sekitar 15 persennya diangkut kapal pribumi.

Perdagangan tersebut semakin mengembangkan pecinan, pergudangan, dan kawasan produksi pengusaha Tionghoa, baik di sebelah barat maupun timur sungai. Namun, sekarang keriuhan perdagangan tak lagi terdengar dan kelihatan. Tim Susur Sungai Lasem menemukan sejumlah keprihatinan lingkungan. Misalnya, hampir di setiap bantaran sungai terdapat WC liar dan tempat pembuangan sampah, penumpukan sawah di sungai, hutan mangrove yang kian sedikit, dan sedimentasi muara sungai. Guru besar sejarah maritim Universitas Diponegoro, Semarang, Singgih Tri Sulistiyono, mengatakan, salah satu faktor kuat pudarnya peradaban perdagangan Lasem terkait erat dengan pembatasan gerak pengusaha Tionghoa dalam berbisnis. Misalnya, Belanda mengharuskan setiap pengusaha Tionghoa menginduk pada perusahaan Belanda.

Hal itu menyebabkan banyak pengusaha Tionghoa bangkrut dan pergi meninggalkan Lasem mencari tempat usaha baru. ”Peradaban perdagangan itu juga pudar lantaran jumlah bahan baku barang-barang impor, misalnya kayu jati, turun. Selain itu, Sungai Lasem juga tidak dapat disandari kapal-kapal dagang besar lantaran sedimentasi dan kerusakan lingkungan lain,” katanya.

Kejayaan Sungai Lasem yang masih tersisa dan mendapat penghargaan tinggi adalah Kelenteng Makco Dewi Laut. Menurut anggota MSI Jateng, Titiek Suliyati, klenteng itu dahulu sengaja dibangun di bantaran sungai. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, air merupakan unsur penting dalam segi peruntungan dan jalur strategis berniaga. ”Air, dalam konteks ini adalah Sungai Lasem, merupakan sarana transportasi dan pendistribusian barang,” katanya.

Arsitek asal Semarang, Widya Wijayanti, yang mengikuti kegiatan itu mengusulkan agar pemerintah melalui MSI mengusulkan Sungai Lasem dan kota tua Lasem menjadi kota pusaka atau cagar budaya (heritage town). (Hendriyo Widi/Kompas)
Add to Cart

Related Product :

0 komentar:

Posting Komentar

Most View Product

Contact Online

Support : Creating Website | M.Fathul Aziz |
Copyright © 2014. All Rights Reserved
Created by Creating Website Published by M.Fathul Aziz